Hidup di Jakarta itu sangat keras
Itulah ungkapan dari seorang remaja
berumur 17 tahun yang bernama Didi . dia tidak mempunyai apa-apa lagi semenjak
ibunya meninggal dunia 2 tahun yang lalu dan ayahnya pergi entah kemana. Saat
lulus SMP dia tidak ingin melanjutkan sekolahnya itu ke jenjang yang lebih
tinggi karena adanya kendala biaya. sekarang dia berprofesi tetap sebagai
pengumpul barang bekas seperti kardus,kaleng dan lain-lain.
Suatu hari, Dengan memakai baju yang
usang entah kapan dia mencucinya yang sedang mencari barang yang tak dipakai di
sebuah komplek elit . dia sudah meminta ijin kepada satpam komplek. Dia
diijinkan dan tidak boleh membuang sampah di wilayah komplek. Dia berhenti
disebuah rumah elit yang sangat mewah dengan pagar yang besar dan kuat. Dia pun
pergi ke tempat sampah rumah itu yang tepat di samping rumah elit itu. Banyak kardus yang dibuang ditempat itu. Lalu
ketika dia sedang memilih kardus ditempat itu di dekat kardus itu ada sebuah
kamera bertuliskan Nikon yang sudah usang dan talinya itu sudah putus. Dia
mengambilnya dan mengecek apakah kamera itu masih berfungsi atau tidak.
Ternyata kamera itu masih berfungsi . lalu dia menanyakan kepada pembantu di rumah
elit itu apakah kamera itu bisa dia ambil atau tidak.
“bii kamera ini apakah ini benar untuk dibuang ?”tanya Didi
“oh itu ambil saja dek,
kamera itu sudah lama dipakai oleh pemiliknya . dan beliau pikir kamera
itu sudah tidak berguna sudah ada yang barunya kok dek”jawab bibi dengan ramah.
“ooh terima kasih banyak”ucap Didi
“iya dek” jawab pembatu tersebut
Dia pun bergegas pergi dengan membawa sekumpulan kardus
dikeranjang yang dipikulnya dibelakang.
Sesampai dirumahnya yang berbahan
dasar kardus itu di kawasan kumuh . dengan gembira dia melihat kamera itu dan
mencoba memotret orang-orang yang sedang
berkerja di sekitar rumahnya itu dan hasil potretannya cukup bagus.
Memotret dan memotret di saat dia sedang beristirahat di depan gubuk kecilnya
itu. Dia lumayan bisa memotret dengan kamera itu karena ada seorang sahabatnya
mulai dari SMP yang kaya tetapi tidak sombong namanya Nathan, dia sangat baik
terhadap Didi dan mengajarinya apa yang diketahuinya tetapi tidak diketahui
oleh sahabatnya itu.
Hari sudah menjelang sore, Didi bergegas
pergi ke kali untuk mandi dan bersiap-siap pergi ke taman untuk menemui sahabat
karibnya itu. Didi tidak sabar untuk memperlihatkan kamera yang persis sama
dengan punya sahabatnya itu namun sedikit agak usang . selesai bersiap-siap
diambilnya kamera usang itu untuk dibawa ke taman namun dilihatnya tali yang
ada dikamera itu sudah putus dan dia
mempunyai ide untuk menggantinya dengan tali rafia atau tali plastik yang ada
di dekat rumahnya itu untuk dikalunginya.
Di saat-saat perjalanan ke taman
dia menyempatkan untuk memotret keadaan
yang ada disekitarnya itu mulai dari macetnya jalanan Jakarta, keramaian orang
di dekat taman dan ketika sampai di
taman dia sudah melihat sahabatnya itu sedang menunggu di kursi taman dekat
pancuran yang sangat indah , Didi pun menyempatkan memotret sahabatnya itu lalu
menghampirinya.
“hai Nathan , sudah lama yah? Maaf hehe” tanya didi dengan
canda
“haha enda kok aku baru saja datang”
“oh gitu, bungkusan apa itu yang ada di sampingmu tan?”
“oh ini , ambil lah ini baju untukmu”
“ha? Beneran ? makasih ya”
Didi cukup senang dengan pemberian sahabat karibnya itu . Nathan
sangat baik dengan Didi walaupun didi seorang pemulung dan sangat setia untuk
menemani sahabatnya itu.
“di? Kamera siapa itu ?”
“oh ini ,ini aku dapat dari sampah rumah elit di komplek 5
kata pembantunya sih sudah tidak di pakai lagi oleh pemiliknya jadi kuambil
deh, masih berfungsi tau, cuman luarnya saja yang kelihatan usang namun
dalamnya masih berfungsi”
“haha kamu ini coba aku lihat?”
Didi pun memberikan kameranya itu. Nathan pun melihat hasil
potretan sahabatnya itu. Entah kenapa nathan terkejut setelah melihat hasi
potretan sahabatnya itu.
“kenapa nath? Jelek
yah hasilnya? Hehe aku sudah tau kok kalo hasilnya jelek , eheehe”
“enda di , ini sangat bagus hasilnya. Kaya alami gitu
hasilnya.”
Didi yang tidak mengerti apa kata
nathan hanya bisa terdiam. Sedangkan nathan yang sedikit tahu tentang
photografi senang melihat hasil potretan temennya itu. Setelah itu mereka pun
berbincang-bincang tentang kehidupannya masing-masing. Nathan yang tidak pernah
malu memiliki sahabat karib seperti didi yang hanya seorang pemulung. Baginya
sahabat tidak memandang status sosial yang terpenting itu kesetiaan si sahabat
itu. Nathan menganggap didi itu sebagai saudaranya sendiri. Dan Akhirnya mereka
pulang kerumah masing-masing.
Di perjalanan dari taman, Didi pun
berhenti ketika nathan yang lebih duluan pergi karena berlawanan arah berlari
menghampiri Didi sambil membawa sebuah brosur.
“diii, tunggu dulu , coba kamu lihat brosur ini.”
Didi melihat brosur itu . brosur itu
tentang lomba photografi tentang nilai kehidupan , semua orang boleh ikut. Dan
hadiahnya adalah dapat melanjutkan Sekolah photografi yang ada di luar negeri.
Waw Didi pun terlihat ingin mengikutinya lalu dia pun terlihat murung.
“kenapa di? Menarik bukan? Ikut lah”
“em entah Nathan, aku ragu bisa mengikuti lomba itu”
“kenapa? Kan semua orang bisa ikut, aku lihat kamu itu punya
bakat dibidang itu gasalah kan kalo kamu mencobanya?”
“kamu tidak ikut?”
“ah tidak pasti orangtuaku tidak mengijinkan aku mengikuti
lomba itu”
“beneran aku bisa ?”
“kamu ini, kita cobalah kan kamu sudah memotret hasil itu kan
juga nilai kehidupan, ”
“hehe okedeh”
“okelah kamu nanti tunggu di taman ini jam 2 siang ya , nanti
aku anter kamu kesana”
“baiklah”
Keesokan harinya, Didi yang
mengenakan jeans dan kaus oblong pemberian sahabatnya itu yang mengalungi
kamera usang yang bertali dengan tali plastik dan sendal jepitnya sedang
menunggu sahabat nya di taman.
“hai dii, nah kan begitu bagus, naik di”
Didi pun naik ke mobil yang
dikendarai Nathan. Berbincang-bincang dan canda tawa ada di mereka. Mereka
selalu ada di suka maupun duka. Disaat ibu didi meninggal yang menghiburnya yaitu
sahabatnya sendiri Nathan.
Mereka pun sampai di tempat audisi photografi
itu. Syaratnya hanya membawa kamera dan memperlihatkan hasi l foto yang sudah
di potret.
“di, kamu masuk duluan deh aku mau parkirin mobil dulu”
“oke tan,”
Didi pun masuk dan menjadi bahan
tertawaan di dalam ruangan itu yang penuh dengan orang-orang yang sebaya dengan
dia namun terlihat bahwa anak itu kaya dan didi itu miskin. Dia menjadi bahan
tertawaan karena mereka ragu dengan keahlian didi dengan menggunakan kamera
usang dengan diberi tali plastik untuk dikalunginya.
“haha apakah kamu bisa memotret dengan kamera usang itu? Aku
ragu”ejek salah satu peserta photografi lalu tertawa.
Didi hanya bisa sabar menghadapi
ejekan para peserta dan menunggu sahabatnya itu. Didi mendapat nomor 45 dan
sekarang nomer 35 jadi tinggal 10 nomor lagi.
Tunggu dan menunggu di sebuah ruang tunggu bersama nathan.
25 menit kemudian nama didi pun dipanggil dan dia segera
masuk ke ruang audisi.
“kamu berasal darimana?”
“karang harapan pak,”
“wah itu kawasan elit dong?”
“haha emang iya pak tapi saya tinggal di kawasan
kumuhnya pak”
“oh gitu saya coba lihat hasil foto anda”
Didi pun memberikan kamera usangnya
itu untuk diperlihatkan hasil potretnya. Diruang audisi ada 3 orang juri ,
salah satu juri tertawa kecil ketika melihat tali kameranya terbuat dari tali
plastik.namun tersontak terkejut ketika melihat hasil fotonya.
“oke anda bisa keluar dan tunggu pengumumannya 3 hari lagi”
“baik pak,”
3 hari kemudian.....
“pengumuman hasil pemotretan yang ada berikan kepada kami dan
pemenang untuk melanjuttkan sekolah photografi diluar negeri adalah..... DIDI”
Didi pun terkejut dan tidak percaya
dia bisa memenangkan lomba itu. Para peserta pun juga tak percaya bahwa anak
yang menjadi bahan tertawaan mereka itu menjadi juara 1 di lomba itu. Didipun
bahagia karena dapat melanjutkan sekolah diluar negeri. Dan dia akan bersekolah
diluar negeri selama 6 tahun.
7 tahun kemudian.....
Seorang lelaki dengan setelan
sederhana menarik tas dorongnya yang baru saja datang dari luar negeri. Dan
rupanya itu adalah Didi .
“didiii.”
Teriak Nathan dengan setelan jas ala
orang kantoran karena umur mereka sudah menginjak 24 tahun.
“hai Nathan, sudah lama kita tidak
berjumpa” Didi memeluk sahabatnya itu.
“wah kamu sekarang berubah 180
derajat , haha ayo kita kerumahku”
“haha iya eh tunggu dulu ada seorang
yang ingin kutunggu masih di dalam”
“ha? Siapa?”
Keluarlah wanita yang cantik dengan
setelan muslimahnya dan seorang gadis kecil yang berparas cantik dan ternyata
wanita itu adalah istri dan putri Didi. Didi yang 6 tahun sudah lulus dari
sekolahnya segera mendapatkan pekerjaan sebagai photographer di sebuah majalah
luar negeri yang sangat terkenal selama 1 tahun dan berhenti untuk mencari
perkerjaan di tanah air Indonesia. Dan langsung mendapatkan pekerjaan di sebuah
majalah Indonesia. Dia bertemu dengan istrinya disebuah restoran Islam di luar
negeri dan segera menikahinya dan dikaruniai seorang putri yang sangat manis.
Didi sudah mempunyai rumah elit namun
berdesain sederhana dan ada suatu ruangan khusus untuk kerjanya. Didalamnya ada
sebuah kamera usang yang dilindungi sebuah kaca yang berbentuk kotak untuk
melindunginya.ternyata itu adalah kamera yang telah membuatnya sukses seperti
sekarang ini walaupun sekarang Didi tidak dapat memakainya untuk memotret sesuatu
namun kamera itu akan menjadi barang yang sangat berarti baginya walaupun sudah
usang . walaupun kehidupannya sekarang sudah berubah dia tak pernah sombong
dengan kekayaannya itu dia senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah diberikan.
0 komentar:
Posting Komentar