RSS

Rabu, 16 Mei 2012

Cerpen "Kamera Usang"


Hidup di Jakarta itu sangat keras
Itulah ungkapan dari seorang remaja berumur 17 tahun yang bernama Didi . dia tidak mempunyai apa-apa lagi semenjak ibunya meninggal dunia 2 tahun yang lalu dan ayahnya pergi entah kemana. Saat lulus SMP dia tidak ingin melanjutkan sekolahnya itu ke jenjang yang lebih tinggi karena adanya kendala biaya. sekarang dia berprofesi tetap sebagai pengumpul barang bekas seperti kardus,kaleng dan lain-lain.
Suatu hari, Dengan memakai baju yang usang entah kapan dia mencucinya yang sedang mencari barang yang tak dipakai di sebuah komplek elit . dia sudah meminta ijin kepada satpam komplek. Dia diijinkan dan tidak boleh membuang sampah di wilayah komplek. Dia berhenti disebuah rumah elit yang sangat mewah dengan pagar yang besar dan kuat. Dia pun pergi ke tempat sampah rumah itu yang tepat di samping rumah elit itu.  Banyak kardus yang dibuang ditempat itu. Lalu ketika dia sedang memilih kardus ditempat itu di dekat kardus itu ada sebuah kamera bertuliskan Nikon yang sudah usang dan talinya itu sudah putus. Dia mengambilnya dan mengecek apakah kamera itu masih berfungsi atau tidak. Ternyata kamera itu masih berfungsi . lalu dia menanyakan kepada pembantu di rumah elit itu apakah kamera itu bisa dia ambil atau tidak.
“bii kamera ini apakah ini benar untuk dibuang ?”tanya Didi
“oh itu ambil saja dek,  kamera itu sudah lama dipakai oleh pemiliknya . dan beliau pikir kamera itu sudah tidak berguna sudah ada yang barunya kok dek”jawab bibi dengan ramah.
“ooh terima kasih banyak”ucap Didi
“iya dek” jawab pembatu tersebut
Dia pun bergegas pergi dengan membawa sekumpulan kardus dikeranjang yang dipikulnya dibelakang.
Sesampai dirumahnya yang berbahan dasar kardus itu di kawasan kumuh . dengan gembira dia melihat kamera itu dan mencoba memotret orang-orang yang sedang  berkerja di sekitar rumahnya itu dan hasil potretannya cukup bagus. Memotret dan memotret di saat dia sedang beristirahat di depan gubuk kecilnya itu. Dia lumayan bisa memotret dengan kamera itu karena ada seorang sahabatnya mulai dari SMP yang kaya tetapi tidak sombong namanya Nathan, dia sangat baik terhadap Didi dan mengajarinya apa yang diketahuinya tetapi tidak diketahui oleh sahabatnya itu.
Hari sudah menjelang sore, Didi bergegas pergi ke kali untuk mandi dan bersiap-siap pergi ke taman untuk menemui sahabat karibnya itu. Didi tidak sabar untuk memperlihatkan kamera yang persis sama dengan punya sahabatnya itu namun sedikit agak usang . selesai bersiap-siap diambilnya kamera usang itu untuk dibawa ke taman namun dilihatnya tali yang ada dikamera itu sudah putus  dan dia mempunyai ide untuk menggantinya dengan tali rafia atau tali plastik yang ada di dekat rumahnya itu untuk dikalunginya.
Di saat-saat perjalanan ke taman dia  menyempatkan untuk memotret keadaan yang ada disekitarnya itu mulai dari macetnya jalanan Jakarta, keramaian orang di dekat  taman dan ketika sampai di taman dia sudah melihat sahabatnya itu sedang menunggu di kursi taman dekat pancuran yang sangat indah , Didi pun menyempatkan memotret sahabatnya itu lalu menghampirinya.
“hai Nathan , sudah lama yah? Maaf hehe” tanya didi dengan canda
“haha enda kok aku baru saja datang”
“oh gitu, bungkusan apa itu yang ada di sampingmu tan?”
“oh ini , ambil lah ini baju untukmu”
“ha? Beneran ? makasih ya”
Didi cukup senang dengan pemberian sahabat karibnya itu . Nathan sangat baik dengan Didi walaupun didi seorang pemulung dan sangat setia untuk menemani sahabatnya itu.
“di? Kamera siapa itu ?”
“oh ini ,ini aku dapat dari sampah rumah elit di komplek 5 kata pembantunya sih sudah tidak di pakai lagi oleh pemiliknya jadi kuambil deh, masih berfungsi tau, cuman luarnya saja yang kelihatan usang namun dalamnya masih berfungsi”
“haha kamu ini coba aku lihat?”
Didi pun memberikan kameranya itu. Nathan pun melihat hasil potretan sahabatnya itu. Entah kenapa nathan terkejut setelah melihat hasi potretan sahabatnya itu.
 “kenapa nath? Jelek yah hasilnya? Hehe aku sudah tau kok kalo hasilnya jelek , eheehe”
“enda di , ini sangat bagus hasilnya. Kaya alami gitu hasilnya.”
Didi yang tidak mengerti apa kata nathan hanya bisa terdiam. Sedangkan nathan yang sedikit tahu tentang photografi senang melihat hasil potretan temennya itu. Setelah itu mereka pun berbincang-bincang tentang kehidupannya masing-masing. Nathan yang tidak pernah malu memiliki sahabat karib seperti didi yang hanya seorang pemulung. Baginya sahabat tidak memandang status sosial yang terpenting itu kesetiaan si sahabat itu. Nathan menganggap didi itu sebagai saudaranya sendiri. Dan Akhirnya mereka pulang kerumah masing-masing.
Di perjalanan dari taman, Didi pun berhenti ketika nathan yang lebih duluan pergi karena berlawanan arah berlari menghampiri Didi sambil membawa sebuah brosur.
“diii, tunggu dulu , coba kamu lihat brosur ini.”
Didi melihat brosur itu . brosur itu tentang lomba photografi tentang nilai kehidupan , semua orang boleh ikut. Dan hadiahnya adalah dapat melanjutkan Sekolah photografi yang ada di luar negeri. Waw Didi pun terlihat ingin mengikutinya lalu dia pun terlihat murung.
“kenapa di? Menarik bukan? Ikut lah”
“em entah Nathan, aku ragu bisa mengikuti lomba itu”
“kenapa? Kan semua orang bisa ikut, aku lihat kamu itu punya bakat dibidang itu gasalah kan kalo kamu mencobanya?”
“kamu tidak ikut?”
“ah tidak pasti orangtuaku tidak mengijinkan aku mengikuti lomba itu”
“beneran aku bisa ?”
“kamu ini, kita cobalah kan kamu sudah memotret hasil itu kan juga nilai kehidupan, ”
“hehe okedeh”
“okelah kamu nanti tunggu di taman ini jam 2 siang ya , nanti aku anter kamu kesana”
“baiklah”
Keesokan harinya, Didi yang mengenakan jeans dan kaus oblong pemberian sahabatnya itu yang mengalungi kamera usang yang bertali dengan tali plastik dan sendal jepitnya sedang menunggu sahabat nya di taman.
“hai dii, nah kan begitu bagus, naik di”
Didi pun naik ke mobil yang dikendarai Nathan. Berbincang-bincang dan canda tawa ada di mereka. Mereka selalu ada di suka maupun duka. Disaat ibu didi meninggal yang menghiburnya yaitu sahabatnya sendiri Nathan.
 Mereka pun sampai di tempat audisi photografi itu. Syaratnya hanya membawa kamera dan memperlihatkan hasi l foto yang sudah di potret.
“di, kamu masuk duluan deh aku mau parkirin mobil dulu”
“oke tan,”
Didi pun masuk dan menjadi bahan tertawaan di dalam ruangan itu yang penuh dengan orang-orang yang sebaya dengan dia namun terlihat bahwa anak itu kaya dan didi itu miskin. Dia menjadi bahan tertawaan karena mereka ragu dengan keahlian didi dengan menggunakan kamera usang dengan diberi tali plastik untuk dikalunginya.
“haha apakah kamu bisa memotret dengan kamera usang itu? Aku ragu”ejek salah satu peserta photografi lalu tertawa.
Didi hanya bisa sabar menghadapi ejekan para peserta dan menunggu sahabatnya itu. Didi mendapat nomor 45 dan sekarang nomer 35 jadi tinggal 10 nomor lagi.  Tunggu dan menunggu di sebuah ruang tunggu bersama nathan.
25 menit kemudian nama didi pun dipanggil dan dia segera masuk ke ruang audisi.
“kamu berasal darimana?”
“karang harapan pak,”
“wah itu kawasan elit dong?”
“haha emang iya pak tapi saya tinggal di kawasan kumuhnya  pak”
“oh gitu saya coba lihat hasil foto anda”
Didi pun memberikan kamera usangnya itu untuk diperlihatkan hasil potretnya. Diruang audisi ada 3 orang juri , salah satu juri tertawa kecil ketika melihat tali kameranya terbuat dari tali plastik.namun tersontak terkejut ketika melihat hasil fotonya.
“oke anda bisa keluar dan tunggu pengumumannya 3 hari lagi”
“baik pak,”
3 hari kemudian.....
“pengumuman hasil pemotretan yang ada berikan kepada kami dan pemenang untuk melanjuttkan sekolah photografi diluar negeri adalah..... DIDI”
Didi pun terkejut dan tidak percaya dia bisa memenangkan lomba itu. Para peserta pun juga tak percaya bahwa anak yang menjadi bahan tertawaan mereka itu menjadi juara 1 di lomba itu. Didipun bahagia karena dapat melanjutkan sekolah diluar negeri. Dan dia akan bersekolah diluar negeri selama 6 tahun.
7 tahun kemudian.....
Seorang lelaki dengan setelan sederhana menarik tas dorongnya yang baru saja datang dari luar negeri. Dan rupanya itu adalah Didi .
“didiii.”
Teriak Nathan dengan setelan jas ala orang kantoran karena umur mereka sudah menginjak 24 tahun.
“hai Nathan, sudah lama kita tidak berjumpa” Didi memeluk sahabatnya itu.
“wah kamu sekarang berubah 180 derajat , haha ayo kita kerumahku”
“haha iya eh tunggu dulu ada seorang yang ingin kutunggu masih di dalam”
“ha? Siapa?”
Keluarlah wanita yang cantik dengan setelan muslimahnya dan seorang gadis kecil yang berparas cantik dan ternyata wanita itu adalah istri dan putri Didi. Didi yang 6 tahun sudah lulus dari sekolahnya segera mendapatkan pekerjaan sebagai photographer di sebuah majalah luar negeri yang sangat terkenal selama 1 tahun dan berhenti untuk mencari perkerjaan di tanah air Indonesia. Dan langsung mendapatkan pekerjaan di sebuah majalah Indonesia. Dia bertemu dengan istrinya disebuah restoran Islam di luar negeri dan segera menikahinya dan dikaruniai seorang putri yang sangat manis.
 Didi sudah mempunyai rumah elit namun berdesain sederhana dan ada suatu ruangan khusus untuk kerjanya. Didalamnya ada sebuah kamera usang yang dilindungi sebuah kaca yang berbentuk kotak untuk melindunginya.ternyata itu adalah kamera yang telah membuatnya sukses seperti sekarang ini walaupun sekarang Didi tidak dapat memakainya untuk memotret sesuatu namun kamera itu akan menjadi barang yang sangat berarti baginya walaupun sudah usang . walaupun kehidupannya sekarang sudah berubah dia tak pernah sombong dengan kekayaannya itu dia senantiasa bersyukur atas nikmat yang telah  diberikan.

 Dibuat : Nuradlina :) 

0 komentar:

Posting Komentar